Senin, 26 Desember 2011

Pendidikan Karakter sebagai Upaya “Regenerasi” Moral Bangsa


 Oleh: Sucia Aprisah

Selama kurang lebih tiga setengah abad Indonesia dijajah oleh Negeri Belanda. Kehidupan Bangsa Indonesia yang semula damai, saat itu berubah 180°. Belum lagi negara-negara lain yang juga ikut tergiur untuk menguasai wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya. Hal ini jelas memperburuk keadaan. Dibutuhkan perjuangan keras serta “tumpahan darah” beribu-ribu orang demi merebut kedaulatan negara. Akan tetapi, setelah Bangsa Indonesia berhasil mendapatkan kemerdekaannya, tantangan berat kembali muncul. Ironisnya, tantangan itu justru diakibatkan oleh para petinggi negara yang memiliki intelektual tinggi. Praktik korupsi yang “diwariskan” sejak masa orde baru itu tampaknya mendarah daging dalam diri mereka. “Kehausan” akan kekuasaan memotivasi mereka untuk berlomba-lomba memperkaya diri dengan materi. Sudah menjadi rahasia umum kalau praktik korupsi seakan menjadi “budaya” tersendiri dikalangaan pemerintahan Indonesia. Kalau sudah begini, rakyat Indonesia-lah yang akan dirugikan. Pasalnya, subsisdi yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat, malah dinikmati sendiri oleh oknum-oknum yang tidak betanggung jawab. Buruknya lagi, para pelaku korupsi ini sangat sulit untuk diadili. Dengan uang yang dimilikinya, seorang koruptor dapat menyuap oknum-oknum tertentu yang akan membantunya untuk tidak dimasukkan ke dalam “hotel prodeo”, atau bahkan meminimalisir hukuman yang akan diterimanya nanti. Hal ini seolah menjadi ironi karena rakyat biasa dengan tingkat kriminalitas yang kecil justru dihukum lebih berat daripada pelaku korupsi. Tidak ada yang patut dibenarkan, baik koruptor maupun rakyat biasa tersebut. Hanya saja, keadilan di Indonesia ini yang perlu di “renovasi”.
Bila kita “berkaca” pada pemerintahan sekarang, Indonesia belum sepenuhnya memiliki pemimpin-pemimpin yang patut diteladani. Mereka, para pemimpin yang tidak bertanggungjawab berbuat sewenang-wenang dan memanfaatkan kekuasaanya untuk memperoleh kekayaan yang sebanyak-banyaknya. Ini membuktikan bahwa yang memiliki intelektual tinggi, belum tentu diimbangi dengan akhlak serta pola pikir yang tinggi pula. Menurut salah satu sumber referensi mengatakan bahwa Presiden Soekarno adalah presiden Indonesia terkahir yang namanya cukup diperhitungkan di mata dunia. Ketegasannya dalam mengambil sebuah keputusan dengan memperhitungkan baik dan buruknya membuatnya menjadi teladan bagi semua anak bangsa. Presiden Soekarno begitu
memperhatikan keinginan rakyatnya. Berbeda halnya dengan sekarang. Pemerintah terkesan orang-orang lamban dalam menangani berbagai kasus besar di Indonesia. Sebut saja kasus korupsi. Selain praktik korupsi, isu tentang ketidaktransparasian pemerintahan juga ikut memperpanjang carut-marut pemerintahan di Indonesia.
Perilaku kalangan elite negara dengan mentalitasnya yang lemah ini tampaknya berimbas pada moralitas masyarakat Indonesia yang kian hari juga ikut mengalami degradasi moral. Rakyat tidak merasa canggung lagi untuk melakukan perbuatan yang salah lantaran pemimpin mereka juga mencerminkan hal yang tidak seharusnya. Nilai-nilai luhur sudah tidak dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tingkat kriminalitas semakin memprihatinkan. Praktik suap sudah bukan hal yang asing lagi. Budaya antri tidak
dapat mengendalikan egoisme masyarakat yang penuh ambisi untuk selalu menjadi yang pertama. Masyarakat semakin acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Pengeksploitasian sumber daya alam Indonesia dilakukan secara besar-besaran tanpa adanya upaya reboisasi. Serangkaian contoh di atas seharusnya cukup membuat kita sadar bahwa Negeri ini perlu “dibenahi”.
Kebanyakan remaja juga telah menunjukkan tanda-tanda degradasi moral. Banyak diantara mereka yang tidak mengenal budaya nya sendiri. Budaya itu tergantikan oleh budaya barat yang notabene bertolak belakang dengan budaya timur. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, budaya cium tangan sebagai tanda penghormatan seorang anak kepada orang tuanya kini mulai dilupakan. Tidak hanya itu, dalam lingkungan sekolah remaja-remaja ini seperti kehilangan kepercayaan dirinya. Hal ini bisa dilihat saat evaluasi pembelajaran dilakukan. Chat dan cheat sudah tidak bisa dilepaskan dalam diri mereka. Dewasa ini, tindakan penyimpangan remaja lainnya seperti seks dini, mengonsumsi narkotika, minum minuman keras dan lain sebagainya menandai semakin turunnya moral anak bangsa di abad ke-20 ini.
         Hal tersebut di atas disebabkan oleh adanya penurunan moral yang diakibatkan karena kurangnya penanaman karakter dalam diri mereka. Penyebab lainnya adalah mulai “runtuhnya” integritas bangsa ini. Berawal dari oknum-oknum pemerintahan lalu diikuti dengan rakyatnya yang juga mengalami degradasi moral membuat integritas bangsa kian melemah. Tidak hanya itu. Mereka, oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab melupakan jati diri bangsa yang berlandaskan nilai-nilai luhur Indonesia. Bukan hanya moral pemimpin-pemimpin Indonesia yang perlu dibenahi, tetapi juga moral masyarakatnya.
         Kedepannya, Indonesia membutuhkan para pemimpin yang tidak hanya memiliki intelektual tinggi, tetapi juga memiliki moralitas serta mentalitas yang kuat. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan karakter untuk “merombak” sistem pendidikan Indonesia yang selama ini lebih cenderung kepada ilmu pengetahuan dan mengesampingkan nilai moralnya. Pendidikan karakter merupakan program yang saat ini mulai digalakkan dalam bidang pendidikan Indonesia untuk membentuk generasi-generasi yang berakhlak. Generasi inilah yang akan meneruskan “estafet” pemerintahan Indonesia mendatang.
Untuk membentuk generasi-generasi yang berakhlak, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan. Faktor tersebut meliputi faktor Internal dan faktor Eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri anak tersebut, yang meliputi selalu berpegang taguh pada Tuhan Yang Maha Esa, menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme, serta memprioritaskan pendidikan dalam hidupnya. Jika seorang anak berpegang teguh pada Tuhannya maka ia akan terhindar dari perbuatan tercela. Hal ini juga berkesinambungan dengan memiliki jiwa cinta tanah air serta rela berkorban untuk negerinya. Dengan memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme, akan timbul dalam diri meraka keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi bumi pertiwi ini. Anak tersebut juga tidak akan melakukan kerusakan di tanah Indonesia. Jika seorang anak memprioritaskan pendidikan dalam hidupnya, kelak generasi ini dapat memimpin rakyatnya dengan menggunakan ilmu yang diperolehnya. Dengan kata lain untuk membentuk generasi berakhlak, timbulkan keinginan untuk perubahan terlebih dahulu dalam diri anak tersebut.
Faktor lainnya adalah faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yangberasal dari luar diri anak tersebut. Faktor ini meliputi penanaman pendidikan karakter.Pendidikan karakter di sekolah dapat diupayakan melalui penerapan perilaku jujur saat ujianpembelajaran dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara mendidik anak-anak tersebut untukbekerja sendiri-sendiri saat mengerjakan ujian. Selain itu, pananaman pendidikan karakter dapat diupayakana dengan cara mendidik anak-anak untuk menghormati orang yang lebih tuaserta memperhatikan dan menghargai guru yang sedang memberikan penjelasan materi.
Dengan menanamkan keinginan untuk perubahan serta menerapkan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari, negeri ini akan memiliki pemimpin yang tidak hanya mampu memecahkan persoalan Indonesia sekarang, tetapi juga menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah negeri yang hebat dan patut untuk diperhitungkan dengan berbagai “bonus” sumber daya alam yang dimilikinya.

1 komentar:

Uza Sefridinata mengatakan...

bagus banget tulisannya dek :)

Posting Komentar

 
;